Muda Karya – Negara
kita memang belum bisa disebut dengan Negara Islam. Tapi setidaknya ini
jauh lebih baik ketimbang kita tidak punya Negara. Iya kan? Belum lagi
ditambah dengan kebijakan pemerintah yang jelas-jelas sudah banyak
memberikan manfaatnya buat Islam. Pesantren tumbuh di mana-mana,
kebebasan untuk menjalankan ritual ibadah agama Islam juga dilindungi
oleh Negara, partai-partai Islam diberi ruang yang besar untuk tumbuh
dan berjuang, ormas-ormas Islam juga sangat dihargai, jilbab sudah
menjamur di mana-mana, dan sederet kebaikan lainnya yang sudah Negara
ini berikan kepada Islam.
Alhamdulillah, semua itu sudah lama
hadir bersama kita. Untuk itu adakah yang salah jika muslim di Indonesia
ini hormat dan taat kepada pemimpin-pemimpin kita yang ada di Negara
ini? Terutama ketika mereka semua sudah berusaha berjalan di atas
kebenaran. Lain halnya jika mereka “dengan sengaja” ingin merusak umat
ini.
Sidang Itsbat
Hampir setiap tahun kita
mendengar kata sidang itsbat, mungkin semua kita sudah paham dengan
maksud dari kata itu. Sidang untuk menetapkan. Iya, itu dia maksudnya.
Secara umum ia berguna untuk menetapkan kapan kita puasa, dan kapan kita
lebaran.
Mereka sidang, rapat, musyawarah. Setelah sebelumnya
disebar petugas-petugas yang profesional bekerja untuk melihat hilal
(bulan), sebagai standar waktu peribadatan dalam agama Islam.
Dan
mereka yang bertugas bukanlah orang yang awam seperti kita ini. Mereka
orang-orang pilihan, punya banyak ilmu tentang perbintangan (falaq),
ditambah dengan ulama’-ulama’ yang paham ilmu syariah.
Melihat Bulan dan Tidak Melihat Bulan
Jika
kita mau jujur, sebenarnya semua ulama sepakat bahwa penentuan Ramadhan
dengan melihat bulan, bukan dengan keberadaan bulan. Jika standarnya
keberadaan bulan, toh selama ini dan kapan pun bulan sudah pasti ada.
Cuma masalahnya terlihat atau tertutup oleh awan.
Jika terlihat
bulan baru, maka kita puasa, maka kita juga lebaran. Namun jika bulan
tidak terlihat (walaupun keberadaannya ada), maka baru kita berpindah ke
metode lain. Menggenapkan hitungan bulan atau dengan menggunakan ilmu
hisab.
Inilah pemaknaan hadits nabi berikut:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُم فَاقْدُرُوا لَهُ
“Puasalah
dengan melihat bulan dan berfithr (berlebaran) dengan melihat bulan,
bila tidak nampak olehmu, maka kadarkanlah”. (HR. Bukhari dan Muslim)
صُومُوا
لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ حَال بَيْنَكُمْ
وَبَيْنَهُ سَحَابَةٌ فَأَكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلاَ تَسْتَقْبِلُوا
الشَّهْرَ اسْتِقْبَالاً
Berpuasalah kamu dengan melihat hilal dan berbukalah kamu dengan melihatnya juga. Tetapi bila ada awan yang menghalangi, maka genapkanlah hitungan dan janganlah menyambut bulan baru. (HR. An-Nasa’i dan Al-Hakim)
Dan
kesemuanya itu sudah dilakukan secara benar oleh pemerintah kita. Usaha
ini dinamakan dengan proses ijtihad. Jika hasil keputusan yang diambil
sudah sesuai dengan aturan-aturannya, maka apapun hasilnya, itulah yang
terbaik.
Pemegang Keputusan
Tidak diragukan
bahwa otoritas keputusan itu dipegang oleh pemimpin yang berkuasa,
dulunya saja penetapan awal Ramadhan ini juga dipegang oleh Rasul SAW,
tidak ada satu pun sahabat yang berani untuk meneriakkan tentang awal
Ramadhan.
Jika di antara sahabat ada yang melihat bulan, maka
berita ini mereka sampaikan kepada Rasul SAW, dan biasanya Rasul SAW
akan memperjelas kabar ini, jika memang yakin kebenarannya, maka akan
keluar surat perintah dari Rasul agar masyarakat diberi tahu bahwa besok
sudah mulai puasa.
Keputusan yang kita serahkan kepada “pemegang
keputusan” ini dimaksudkan agar masyarakat yang banyak ini tidak
disibukkan dan dibingungkan dengan perkara ini.
Untuk itulah Rasul SAW bersabda dalam kaitan ini dengan:
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُوْمُوْنَ وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُوْنَ وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّوْنَ
Hari
puasa adalah hari di mana semua kalian berpuasa. Hari berbuka adalah
hari di mana semua kalian berbuka (maksudnya berlebaran). Dan hari Adha
adalah hari di mana semua kalian beridul-Adha. (HR. At-Tirmidzi)
Hadits
ini memberikan penjelasan kepada kita bahwa perilaku melawan arus orang
banyak itu bukan sesuatu yang terpuji, terkhusus untuk masalah puasa
dan lebaran. Jadi tidak boleh puasa sendirian di saat masyarakat
lainnya belum berpuasa, pun begitu sebaliknya jangan berlebaran
sendirian di saat yang lain belum lebaran.
Namun ada hal menarik
di negeri kita ini, justru perbedaan itu yang dicari dan dikejar,
sehingga ‘mungkin’ ada rasa kebahagiaan dan bangga di dalam hatinya jika
berbeda dengan masyarakat pada umumnya. Ya, walaupun sah-sah saja
berbeda, namun dalam beberapa hal ada baiknya kita bersama.
Ternyata Pemerintah Salah
Anggap
saja setelah semua keputusan selesai diambil, dan ternyata pemerintah
salah, maka pemerintah tetap benar. Karena ijtihad yang dilakukan oleh
pemimpin, ketika itu sudah melalui prosesnya yang benar, tidak kata dosa
di sana. Justru yang adalah pahala.
“Jika seorang pemimpin
itu berijtihad, lalu hasil ijtihadnya benar, maka dia mendapatkan dua
kebaikan. Namun jika ternyata hasil ijtihadnya salah, maka dia mendapat
satu kebaikan” begitu Rasul SAW pernah memberikan penekanan
terhadap hal penerimaan hasil ijtihad pemimpin, jika sudah dilakukan
dengan prosesnya yang benar.
Ada ungkapan menarik yang dulu pernah
dilontarkan oleh Ulama besar kita, beliau adalah salah satu Imam
Mazhab, Imam Ahmad bin Hanbal. Beliau pernah berpesan untuk kita semua
dengan ungkapan: “Seseorang itu hendaknya berpuasa bersama penguasa dan jamaah mayoritas umat Islam, baik ketika cuaca cerah maupun mendung”. Pesan yang sangat bagus sekali, yang bisa menjadi pemersatu umat ini.
Wallahu A’lam Bisshowab.
Sumber: Dakwatuna
Post a Comment